Saya tidak pernah bisa membayangkan dengan pasti, bagaimana reaksi saya apabila anggota keluarga saya meninggal suatu saat nanti. Keluarga yang sedarah, karena takdir. Dan 'keluarga'. Yang menjadi bagian dari hidup saya, yang saya diam2 beri label sama mereka karena menurut saya, mereka pantas buat itu.
They earn it.
not because it's a privilege.
Saya pernah membayangkan akan histeris.
Nangis tersedu-sedu, sesenggukan selama 1 jam, mungkin pingsan.
Bangun sebentar, lalu pingsan kembali.
Ini karena menurut saya, itu adalah hal reaksi paling wajar.
Lalu saya membayangkan skenario lain.. Terdiam. Pusing seketika, tidak bisa menerima kenyataan lalu mati rasa.
ini juga terdengar masuk akal. Bagian hati saya yang keluarga saya tinggali mungkin terasa hilang. Lalu menjadi zombie selama beberapa hari kedepan.
Dan skenario paling menarik (menurut saya) muncul :
Diam sebentar, merenung, lalu kembali melanjutkan hidup. Bukan karena tidak punya hati, bukan karena tidak sedih atau karena sedih berlebihan,
tapi karena, kematian sendiri adalah sesuatu yang wajar. Senatural bernafas. Senatural mandi di pagi hari. Senatural minum dan makan. Dan mungkin memang semestinya begitu.
Semakin umur saya bertambah, saya sadar semakin banyak orang-orang yang datang dan pergi.
Hilang, melanjutkan hidup masing-masing atau pergi untuk selamanya.
Dan orang-orang yang pergi untuk selamanya ini semakin lama semakin dekat hubungannya.
And the thought of it comes creeping me, slowly.
Selama ini, harapan saya, saya bisa 'minta' sama yang di atas.
"Tolong ya Tuhan, kalau waktu mereka datang, kasih saya persiapan. Kasih saya waktu buat menerima kalau mereka lagi 'siap-siap' buat pergi.
prepare dan
proper.
Prepare sebelum perpisahan dan kasih mereka
proper goodbyes.
Tapi, lagi-lagi, berita kematian selalu datang tiba-tiba.
when we least expect (
why, of course. who's expect death to say hello to their live?)
or least thought about it. Dan jadinya, kesempatan buat prepare and proper jadi sangat berharga.
There's a quote that i read many times. It's about treating a person like they would die tomorrow. That way, we possibly change our lives as well.
Kenapa harus menunggu untuk bersikap baik? Kenapa butuh kesempatan?
Kenapa butuh alasan buat bersikap baik?
Mungkin bukan porsi saya untuk berbicara mengenai hal ini. Toh, bila dibandingkan dengan yang lain, pengalaman saya masih sebesar atom. Tapi tidak ada salahnya kan berbagi atom milik saya?
Idea is like a deadly and contagious disease. It's spread unstoppably and u realize it is too late.Label: blabbing